PUISI INDONESIAKU 4

BRANGTA

 
Sunyi
Bila cinta kehilangan makna
Bila rindu kehilangan bara

Rasa sendiri
Terpuruk di jelaga sepi

11 Januari ‘95

 

 

DAYA

 
Adalah kau daya dari ombak yang berkejaran
Tak pernah berhenti tak pernah menepi
Mencinta dermaga rasa
Mengalun alun. Alun mengalun. Alun mengalun
Mengalun alun. Sampai waktu menghentikan
Bulan menghentikan pasang lautan!


1995

 

 

BUKU-BUKU AKHIRAT

Seribu atau lebih buku-buku itu kutelan
Cuma dua enam abjad yang bermakna
Terangkai indah berwujud sastra
Tersusun fakta ilmiah nyata

Rangkaian ilmu pada keningku yang
Berkerut mencari arti hakiki ilmu
Semakin haus dahaga lapar
Mungkin ada yang tertinggal

(Belum kusantap buku ilmu hadapi maut
Bekal pulang bila ajal datang menjemput!)

‘94

 

MUKENA

Beralas bumi di kaki langit
Diterpa segala angin penjuru negeri
Belia belajar sholat
“Innassholati wa nusuki wa mahyayaa
Wa mamati lillahi rabiil’alamiin...”
Mana mukenaku, Mak?

Terulur sekain rombeng berbalur tambal
Dari tangan renta menatap dengan tangis
dan tawa. Dikait peniti berkarat
Mukena siap

--Kelak aku akan punya kain sholat
Putih mengkilap biar silau mata yang melihat
disulam benang perak. Emak kubelikan juga
biar dua buat dia...

Bandung, 1995

 

 

SETITIK NODA

 

Setitik
Titik setitik
Setitik titik
Titik setitik titik
Tebaran titik
Kelam

Titik
Setitik titik
Betitik titik
Bertebaran titik
Kelam

Bandung, 1994

 

 

BAGAIMANA HAMBA MEMINTA MAAF

Biarkan butiran basah ini luruh
ketika ketakutan akan diriMu mencekamku
Maluku begitu menghimpit tak tahu hendak
kemana mencari muka. Menawarkan iman
selicin lumut. Ah, Kau pasti tertawa
Sedang senyum malaikat-malaikatMu
Adalah seringai atau ejekan?

Biarkan butiran basah ini luluh
Ungkapan maaf yang tak berucap
Basahi mukena dan sajadah

Bandung, 1994

 

 

DARAH

Merah
Biru hasrat memancar
di antara kening feodal

Merah
Hitam kelam lenyapkan
hati manusia

Merah
Kesumba mempesona
semburat warna di pipi
ketika kerling bersemu
Cinta

Darah
Tak peduli warna
Hati: hakiki nyata

Bandung, 1994

 

 

LEPAS

Merajut harapan
pada selembar kenangan

Tak pernah selesai
Tak pernah selesai
Tergerai-gerai

Tak tersimpul
pada mata kait yang tumpul

Bandung, 1994

Tinggalkan komentar