Kritik Sastra – SARDUNG: DARI DUNIA MAYA MENUJU HAK CIPTA

:Chye Retty Isnendes

 

(Hatur nuhun ka nu tos janten ilham dina ieu seratan: Kang EK sareng Teh PT (PS).

Menarik sekali mencermati media facebook dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda serta menghasilkan penulis-penulis anyar yang produktif dan penulis-penulis heubeul yang kreatif. Penggunaan bahasa Sunda semakin meluas karena jangkauan facebook tak terhingga. Demikian juga dengan sastra Sunda, sastra Sunda semakin dikenal di dunia maya, terutama sajak dan carpon.

Walaupun pada kenyataannya, teknik penulisan dan struktur sajak dan carpon yang ditulis oleh pemula masih harus banyak dibenahi dan dipelajari, tetapi hal ini perlu disambut dengan gembira bila melihat kuantitas karya dan penulis Sunda. Untuk pemula ini ada yang sudah berhasil dan ada juga yang belum. Pada genre sajak, muncul nama Asep Benito Arifin dan Arom Hidayat yang sajaknya sudah bisa dikatakan jadi, atau Taufik Rahayu yang masih mencari, serta Prayoga Adiwisastra yang kemudian menghilang. Sementara pada wilayah carpon ada nama Endang Kasupardi yang sangat produktif menulis –sebenarnya Endang sudah cukup lama menulis dalam bahasa Sunda tetapi popularitasnya muncul setelah ada fb, dan Hena Sumarni juga Derry Hudaya yang memperlihatkan kecenderungan ke arah sastra serius. Dan juga sederet nama yang berusaha menjangkau nilai kesastraan dan patut dibageakan.

Lain halnya dengan teknik dan struktur karya baru yang ditulis oleh penulis lama –atau diunggahkan lagi karya lamanya yang notabene sudah jadi, yang dibicarakan tentu masalah kreativitas dan kualitas karya.

Selain membawa kegembiraan-kegembiraan tertentu, facebook juga memunculkan persoalan-persoalan terselubung, di antaranya, perihal: persaingan, kepopuleran, pengabaian struktur bahasa dan penulisan, ihwal legalitas hak cipta, dan bentuk genre baru,.

 

‘Sardung’ vs ‘Sardung’: Sa(r)ndungan Etika

Sardung adalah nama tokoh fiktif yang hidup di dunia maya. Nama tokoh ini dipakai ikon oleh dua orang pengarang baru dan lama: Endang Kasupardi (EK) pertama kali mengunggahnya ke dunia maya tanggal 27 Januari 2010 dan Popon Saadah (pada fb: Pamanahrasa Tea (PT)) pertama kali menggunakan nama Sardung untuk ceritanya tanggal 31 Januari 2011.

Setelah dicermati, sebenarnya kedua Sardung tersebut sifatnya adalah turunan tipikal Si Kabayan  –dalam penelitian saya dengan objek materi 76 cerita SK yang dijadikan bahan disertasi Lina Maria Coster Wijsman Uilspiegel-Verhalen in Indinesie In Het Biezonder in de Soendalanden (1929), terdapat 6 tipikal SK, yakni: SK yang bodoh tapi lucu dan pikaseurieun; SK dan kritik sosial; SK dan istri atau mertua lelaki-perempuannya; SK dan majikannya; SK dengan kelamin dan atau hubungan seks; dan SK yang misterius.

Nah, Sardung EK dan Sardung PT juga berhipogram pada SK, karena mau tak mau, orang Sunda sudah berhubungan erat dengan tokoh ini. Tentu saja, dengan perkembangan cerita yang kontekstual; memotret kehidupan sosial kekinian dengan segenap budaya transisinya (tradisional dan modern; lokal dan global). Hal ini bukan suatu yang dikhawatirkan dan menjadi persoalan, justru memotret dan mengukuhkan betapa populernya SK yang kemudian hidup dan dihidupkan pada tokoh Si Sardung atau nama lain di dunia maya dan dunia nyata.

Yang menjadi persoalan adalah ketika kemudian ada klaim atas keberhakkan (legalitas hak cipta) menggunakan nama Sardung pada status PT (20 Februari 2011), sehingga terdokumentasikanlah 64 komentar mengenai hal itu –termasuk dua komentar saya yang menganjurkan pada PT agar Si Sardung-nya berubah nama.

Status ini mengetengahkan cerita Onah yang berbicara pada Sardung bahwa ada  seseorang yang memprotes mengapa Sardung (PT) memakai nama yang sama dengan Sardung lain (EK). Pada komentar kemudian terjawab nama pemrotesnya, yang juga penggemar Sardung EK.

Pemrotes tersebut menganjurkan PT mengubah nama tokoh ikonnya karena nama Sardung sudah menjadi ikon EK. Selain itu, pemrotes memberitahu bahwa Sardung EK sudah dibukukan lengkap dengan ISBN/KDT/Barkode  –dari hasil investigasi diketahui bahwa EK telah menerbitkan 5 buku seri Sardung (2010) dengan jumlah total judul carpon-nya 100 buah.

PT kemudian menjawab bahwa dirinya: tidak menjadi plagiator karena realitas di masyarakat membuktikan nama Sardung adalah nama pasaran, tidak berteman dengan EK, dan menyandarkan ceritanya pada kepopuleran Si Kabayan yang menjadi milik sarerea. Kemudian PT pun berharap agar dua Sardung tersebut maju bersama, walaupun pada kalimat terakhir statusnya –dengan memakai tokoh Sardung, PT mengajak bersaksi pada semua teman facebookernya, siapa yang akan lebih populer. Alasan-alasan ini mungkin benar bila ditempatkan pada wilayah interteksualitas karya.

Akan tetapi, dengan tidak berpihak pada siapapun karena keduanya adalah sahabat baik saya, dan juga tidak mengabaikan pertanyaan kawan dan mahasiswa mengenai keabsahan nama Sardung milik siapa, serta bersandar pada ranah keilmuan sastra, saya mencoba jawab hal ini.

Dalam peristiwa ini, yang harus dicermati adalah konteks literasi (keaksaraan) yang berada pada kekinian (modernitas) yang menghargai individu yang berpancar pada hak cipta, bukan lagi pada konteks oralitasi (tuturan) sebagaimana lazimnya sastra tradisional –bahan cerita memang dari tuturan tetapi kemudian dibukukan oleh EK dan dituliskan pada status oleh PT. Dengan bukti-bukti literasi yang diuraikan sebelumnya, lepas dari popularitas dan kualitas, legalisasi hak cipta nama Sardung sebagai tokoh cerita sebenarnya ada pada tangan Endang Kasupardi.

Hal yang kita bicarakan ini adalah tataran etika karya. Artinya, semua penulis diharapkan lebih bijaksana memandang dan menempatkan karyanya pada tataran teks dan konteks. Adapun mengenai plagiarisme, para pembaca dipersilahkan merujuk pada kamus KBBI atau Wikipedia.

 

Genre Karya Sastra Baru?

Apakah PT yang produktif (sampai tulisan ini dibuat, PT telah menghasilkan ±114 cerita Si Sardung) dan kreatif (mengemas ide dan tokoh pendukungnya) telah memunculkan genre karya sastra baru? Selain itu, bentuk cerita PT dan facebooker lainnya pada status: pendek, ringkas, dan padat, sangat menarik untuk dikaji.

Bila menyandarkan diri pada teori dekonstruksi Derrida, bahwa has no stable identity, no stable origin, no stable end, sangat benar bahwa teks bisa dilacak. Sebelum berkembang carita mini, pada tahun 1999-2002, pada komunitas Pakalangan Sastra Sunda – diketuai oleh Taufik Faturrohman, berkembang istilah CARPONN (doble N). CARPONN ini diartikan sebagai carita pondok naker (cerita pendek sekali). Setahu saya, pemrakarsanya adalah Kang Taufik atau Kang Godi Suwarna, yang kemudian disambut oleh Kang Hadi AKS, Kang Darpan Ariawinangun, dan Kang Cecep Burdansyah, juga yang lainnya.

Isi CARPONN ya mendeskripsikan realitas kekinian yang dibungkus lelucon tetapi bermakna dan sarat nilai.  Nah, mengenai bentuk CARPONN, sebenarnyalah bentuk ini sudah ada dan ditemukan pada dongeng-dongeng sebelumnya, terutama dongeng SK yang dijadikan bahan disertasi orang Belanda itu. Pada dongeng-dongeng SK tersebut, banyak dongeng-dongeng pendek, bahkan hanya 3-5 kalimat persis seperti bentuk cerita PT dan facebooker sekarang.

Jadi, pada tataran sastra Sunda modern, apakah CARPONN hanya merupakan varian dari carpon? Atau bisa diterima sebagai genre baru karya sastra Sunda? Untuk menjawabnya harus diselidiki lebih mendalam lagi mengenai struktur dan isinya, kemudian membandingkannya dengan bentuk karya sebelumnya yang notabene sejaman atau lebih tua lagi (sinkronis dan diakronis). *

Bandung, 110311

 

Penulis adalah dosen, mahasiswa S3, dan penulis buku:

Kajian Sastra: Aplikasi Teori dan Kritik pada Karya Sastra Sunda dan Indonesia (2010)

 

*Tulisan ini dibuat sebelum booming fiksimini (fikmin).

2 tanggapan untuk “Kritik Sastra – SARDUNG: DARI DUNIA MAYA MENUJU HAK CIPTA

  1. Betul Anda, realitas di dunia maya adalah bisa “tersandung” masalah hak cipta. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Ketika kita menggunakan nama tokoh, menggunakan kalimat yang sama, bahkan juga foto atau gambar ilustrasi, yang mirip, bersiap-siaplah menerima komplain. Namun bagaimanapun, hati nurani harus diketengahkan, yaitu kejujuran dalam berekspreasi dan berkarya. Selamat, trims infonya yang bagus, sukses selalu untuk Anda.

    Salam kompak:
    Obyektif Cyber Magazine
    (obyektif.com)

Tinggalkan komentar