BULAN

bulan1Suatu malam saya memandang bulan. Bulan separuh di langit Parongpong. Saya tanya kalender, tanggal berapa malam ini? Kalender menjawab tanggal 10 Syawal. Oh iya, bulan akan purnama tanggal 13-14 pada perhitungan qomariah. Qomariah itu bukan nama perempuan tapi merujuk pada bulan Islam Hijriyah yang mengikuti peredaran bulan (al-qomar). Nah bila ada perempuan bernama Komariah atau Qomariah itu artinya orang tuanya takjub pada bulan yang selalu indah bila purnama, dan berharap anaknya seindah cahaya rembulan.
 
Kata ‘bulan’ ini dipakai dalam bahasa Indonesia bila kita menunjuk hitungan kumpulan hari dengan jumlah 29, 30, dan 31 hari. Kata bulan di sini merujuk pada syamsiah atau peredaran matahari yang lebih lama dari peredaran bulan. Inilah yang dipakai dalam perhitungan Masehi. Adapun hitungan Hijriyah yang merujuk pada peredaran bulan biasanya antara 28-29 hari, lebih sedikit dari pada hitungan Masehi, sedangkan jumlah bulannya sama, 12 bulan (Muharram, Safar, Rabiul ‘Awal, Rabiul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah).
 
Mengapa ya Indonesia tidak menetapkan penanggalan Hijriyah? Padahal sudah jelas masyarakat adat tradisional menghitung musim, upacara adat, menentukan kalender pertanian, pernikahan, dan penghidupan lainnya pun menggunakan hitungan bulan, walaupun dengan nama dan istilah masing-masing dalam bahasa setempat. Silahkan pergi ke masyarakat adat di Nusantara, di pulau manapun, kecuali yang pernah terjajah Portugis.
 
Hal ini memperlihatkan bahwa peradaban Islam telah demikian lama mempengaruhi budaya Indonesia. Tidak aneh, karena Islam masuk ke Nusantara abad ke-7 Masehi atau 2 Hijriyah jadi bila dihitung sampai sekarang artinya 14 abad Islam menopang kebudayaan Indonesia. Hal yang aneh adalah selalu dinafikannya pengaruh dan keberadaan Islam, bahkan dihindari, seperti perhitungan bulan ini. Mereka yang berada di ranah itu, ditudinglah kearab-araban, si onta, si padang pasir, dsb.
 
Oh ya, tadi pagi saya memandang bulan lagi. Sangat pucat tentunya karena ‘bulannya telah kesiangan’. Bulan itu hanya sepertiganya yang tersembul. Saya tanya lagi kalender, pantas sudah tanggal 18 Syawal.
 
Catatan tanggal 23 Juli 2016

AIR TEH DAN BUDAYA SUNDA

air teh

Ketika membawa mahasiswa S3 penelitian mini ke sebuah komunitas masyarakat adat di ujung Kabupaten Garut, kami istirahat dan makan siang di sebuah warung makan di sekitar Batu Tumpang Garut. Para mahasiswa menikmati pemandangan alam di sekeliling warung makan tersebut. Tampak dari jendela halimun atau kabut mulai turun tapi bukan tanda-tanda akan hujan pastinya, karena memang demikianlah keadaan di gunung.

Para mahasiswa memesan makan dan minum. Makanan yang mereka pesan mau tak mau adalah makanan khas Sunda: ikan goreng; daging goreng, pindang goreng atau ikan laut yang diolah lagi, gepuk, tahu, tempe. Sayurnya, mereka memesan oseng kangkung. Sambalnya ada yang memesan sambal terasi dan karedok leunca.

Untuk minuman, hampir semua memesan air teh manis, ada beberapa memesan kopi, ada juga teh tawar. Tak lama berselang, yang disajikan oleh ibu warung adalah air teh tawar sebanyak kami yang memesan makanan (9 gelas). Lalu kopi lalu air teh manis. Para mahasiswa keheranan, mengapa katanya, sudah pesan air teh manis koq masih diberi air tawar.

Aku tertawa geli. Kukatakan, inilah tradisi Sunda yang sebenarnya. Walaupun memesan minuman apapun, tetapi tetap disajikan air teh tawar. Hal itu dikarenakan air teh tawar dan orang Sunda tak bisa dipisahkan. Para mahasiswa semakin keheranan.

Baiklah, akhirnya kuceritakan latar budaya mengapa demikian. Teh adalah produk pemerintah kolonial Belanda yang ditanam di hampir semua daerah di Tatar Sunda (Jawa Barat): Sukabumi, Bogor, Bandung, Subang, dan Garut terutama. Perkebunan tersebut dikelola oleh para Tuan Tanah yang diberi kesempatan menanamkan modalnya di sana pada abad ke-18 atau tahun 1780-an.

Berabad-abad lamanya perkebunan itu hadir dan memberikan kebiasaan baru dengan adanya teh yang diseduh. Teh yang aromanya wangi dan airnya gurih membawa ketenangan pada si peminumnya. Teh yang disajikan TIDAK dengan gula, karena gula ditanam di tatar Jawa, yang kemudian hal tersebut memberikan budaya di sana, minum air teh manis!

“Oh pantas saja!!!” mahasiswa dari Sulawesi bersorak.

“Saya makan di Bandung tak pernah diberi air teh manis, selalu teh tawar. Beda dengan di Yogyakarta.” Demikian katanya sambil tertawa kegirangan seolah mendapat jawaban atas teka-teki selama ini.

“Ya benar,” kata yang lain menimpali.

“Ingat juga, kata saya, bahwa orang Sunda selalu malu bila menyajikan air putih (bening). Apabila mereka tak punya teh dan terpaksa menjamu tamunya dengan air putih, mereka akan meminta maaf dan merasa isin dan tak pantas menjamunya demikian. Menjamu air putih saja seolah bukan bagian dari budaya Sunda yang baik, karena budaya mereka adalah menyeduhkan teh yang telah mendarah-daging berabad-abad lamanya.” Mahasiswa mengangguk-angguk mengerti.

Tapi mungkin mereka tak memperhatikan dan memikirkan bagaimana sekarang budaya itu dengan masif digantikan dengan air kemasan botol dan plastik yang menawarkan ‘kesehatan air mineral’ yang kemudian diyakini itu lebih sehat. Air putih kemasan gelas, botol, dan galon serentak menggantikan tradisi teh. Orang-orang Sunda sudah tidak malu lagi menjamu tamunya dengan air putih.

Walau demikian, setelah survey kecil-kecilan, saya merasa bersyukur warung-warung Sunda masih selalu menyajikan air teh hangat, berbeda dengan warung-warung yang notabene dari luar Sunda. Ya, itulah bedanya. Karena apa saya bersyukur, karena minum air dingin setelah makan, membuat saya mual dan enek. Mungkin ini juga karena tradisi yang telah terkondisikan semenjak kecil hingga dewasa. *

10 NOVEMBER HARI PAHLAWAN NASIONAL

 

Kata pahlawan berasal dari kata Sangkrit; Sanskerta: phala-wan, yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Mereka adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Demikian menurut Wikipedia.

Pahlawan juga bisa berasal dari dari kata pahala-wan, orang yang mendapat pahala. Pahala adalah ganjaran bagi orang yang berbuat baik dan benar. Konsep ini dari ajaran agama Islam. Dalam Islam sendiri ada istilah yang lebih eksotik dan estetis, bila dilihat dari segi stilistika-nya, yaitu SYUHADA. Mereka yang gugur dalam membela Islam sebagai risalah dan dien yang dianutnya.

Saya masih ingat sedikit syair lagu dari qasidah yang judulnya Syuhada, begini kata-katanya:

“Putih berseri bagai bunga melati
Disanjung dipuja selama hidupnya
Suntingan rindu bagai seorang kekasih
Yang dicinta untuk selama-lamanya

Engkaulahsee syuhada, pembela agama
Engkaulah pahlawan, pembela negara”.

Dari syair itu jelas, yang diutamakan adalah agamanya dahulu, lalu negaranya. Kita mengabdi pada Allah sang maha Pencipta, baru pada sesama makhluk dalam nasion yang sama; negara. Berbeda dengan pengertian dari Wikipedia tadi, yang diutamakan adalah bangsa, negara, baru agama. Jadi berbicara teks selalu akan berbicara konteks.

Dalam lagu keroncong, ada syair lagu Pahlawan Merdeka, yang pastinya populer di kalangan baju hijau, demikian syairnya:

“Pahlawan Merdeka yang gugur sebagai bunga
Jatuh mewangi di atas pangkuan ibunda
Walaupun kau telah gugur membuang nyawa
Jasamu tetap tercantum sebagai Satria

Kesuma nan indah, o bunga negara
Aji jaya sakti nan sejati

Pahlawan Merdeka yang gugur sebagai Ratna
Terpencar tersebar di bumi Indonesia.”

Apabila ingat tanggal 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan Nasional ini adalah waktu dimana Bung Tomo menyerukan “Allahu Akbar” dalam pertempuran Surabaya yang terkenal tahun 1945. Siapa Bung Tomo? Beliau berlatar Sarekat Islam dan berasal dari pasukan Hizbullah. Ini yang tak pernah dipublish dalam sejarah Indonesia.

RENUNGAN: Kita semua adalah pejuang, tetapi tidak semua menjadi pahlawan. Mungkin perjuangan kita hanya sampai mengantarkan kita ke kesuksesan sehingga disebut pemenang, atau malah pecundang? Mari raih kemenangan di dunia dan akhirat.

SANG DEMONSTRAN ~ 1

Penghujung Tahun 1997.

Rapat terus, rapat terus, di mana-mana. Di ITB, di UNPAD, di IKIP, di IAIN, bahkan di kampus-kampus kecil di Kota Bandung dan Jawa Barat. Mahasiswa terlihat sibuk, di sela-sela kegiatan perkuliahan dan mengelola himpunan, senat fakultas, juga senat institusinya.

“Asih” kata Ketua Senat Fakultas Bahasa dan Seni, Ailman Nurrofiq, “jangan lupa agendakan rapat untuk hari Jumat.”
“Kang Nur ini, baru saja kita selesai rapat, sudah bikin agenda lagi… ”
“Semester ganjil pan tau sendiri, Neng. Mahasiswa Baru, P2M, kerja sama dengan fakultas dan universitas, dan sekarang yang sedang kita persiapkan: pergerakan.” Nur nyerocos.
Semakin ganteng saja dia, Asih membatin. Teh Yuli sangat beruntung.

“Asih, Asih… Bentang Kinasihan, eh malah melamun.”
“Hehe iya Kang, ini saya tulis di buku harian senat kita.”
“Baiklah. Eh Asih, kamu percaya kita bisa bergerak?”
“Entah, lah Kang. Tapi saya pikir semua orang sudah muak padanya.”
“Eh, hati-hati lho, intelnya di mana-mana. Neng, mau dikarungin?”
“Ih amit-amit. Kan Neng mah cuma menjawab pertanyaan Akang.”
“Beliau masih sangat kuat, Asih.”
“Ya, tahu. Lalu, maksud Akang mengagendakan rapat Jumat, buat apa?”
“Ada surat dari ITB ke ketua senat kita, bahwa kita harus membahas itu.”
“Aku koq ngeri, Kang. Tapi merasa tertantang.”
“Hahaha… sama.”

Mereka berpandangan, ada perasaan ngeri dan takut, tapi membuat mereka penasaran. Pergerakan? Mungkinkah? Blank. Tak tergambar apapun, kecuali demo-demo lokal yang diikutinya di institusi. Aah sudahlah, ini kegiatan P2M di depan mata, bulan depan. Asih membuka catatan harian sekretarisnya. Dilihatnya lagi susunan kepengurusan P2M yang akan dilaksanakan di Pelabuhan Ratu.

Ketua pelaksana P2M Erlangga Pangestu dari Seni Rupa yang juga Wakil Ketua 1, telah jauh-jauh hari mempersiapkan semuanya. Sejumlah program yang dirancang untuk pengabdian telah diajukannya. Panitia pelaksana telah beraudiensi dengan Pembantu Rektor Kemahasiswaan untuk materi dan teknis lainnya.

Nah ketika sedang sibuknya mempersiapkan P2M, di kalangan para pemimpin mahasiswa, beredar isu tersebut. Pergerakan. Mahasiswa pro dan kontra tentang itu. Dari mulai bisik-bisik di kalangan aktivis kampus, hingga bertukar khabar di surat dan pager, juga email yang ketika itu menjadi media baru, semua dilakukan dengan rencep sidem atau diam-diam. Diam tapi panas dan gerah. Tapi semua harus diam jangan sampai terdengar ke rektorat. Ah, suasana yang sangat tak mengenakkan. Untungnya kegiatan menyambut mahasiswa baru sudah selesai, dan puncaknya ini, P2M.

“Neng, Akang kuliah dulu ya? Nanti siang siapa yang aplusan di senat?”
“Erlangga.”
“Pacarmu itu, ya?” Kang Nur menggoda.
“Wee sok teo Si Akang.”
“Kang, aku mau ikut ngeprint ya, buat tugas mata kuliahku.”
“Ok, asal jangan ngabisisn kertas ya?”
“Mao, satu rim aku habiskan.”
“Eh dasar Si Cantik.”
“Cantik mana dengan Teh Yuli, hayoo?”
Ailman Nurrofiq terkesiap. Wajahnya memerah.

“Astagfirullah. Apa sih Neng? Sudah ya? Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam… ” Asih perlahan menjawab. Bibirnya tersenyum lalu terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Buru-buru dikerjakannya tugasnya. Satu jam lagi mata kuliah sosiolinguistik, tugas harus dikumpulkannya.

Untuk mengusik sepi, disetelnya televisi. Di sebuah stasiun swasta, tampak Bapak Presiden sedang berbicara dengan petani. Presiden yang tampan dan gagah. Aku suka tapi mengapa banyak yang tidak suka? Para seniman pada sinis, terutama. Lalu sekarang ada organisasi baru yang menamakan dirinya Forkot, katanya di situ para mahasiswa yang membenci beliau berkumpul. Selain para buruh dan para mahasiswa anak buruh, ada juga komunitas-komunitas kecil di perkotaan yang beraliansi pada ormas tersebut.

Asih jadi ingat bagaimana teman seni rupanya yang militan dan sangat membenci Suharto. Apakah benar sebuah kuasa yang jaya harus segera dijungkirkan agar pemerintahan tidak menjadi sebuah kerajaan? Katanya 30 tahun berkuasa akan mengancam demokrasi yang dibangun. Lalu bergulirlah kata baru ‘rezim’.

Ya Asih tahu, banyak juga rakyat yang benci beliau. Tapi entah apa alasannya. Baginya kebencian atau kesukaan harus ada alasannya yang rasional. Seniman pengeritik sudah jauh-jauh hari mengumumkan karyanya: puisi, lagu, pameran lukis, seni instalasi, dan lain sebagainya untuk mengeritik kepemimpinan beliau atas nama demokrasi. Entahlah.

Mata Asih melihat Pak Soeharto, senyumnya yang khas mencuri hatinya. Seperti senyum siapa ya? Kang Nur? Eu… bukan, tapi senyum itu koq seperti… Erlangga. Asih baru menyadarinya. Tapi eh, mengapa aku membandingkan senyum itu dengan Erlangga? Ah sudahlah. Dikibaskannya pikirannya tentang Erlangga. Suara printer pita berteriak-teriak memenuhi ruangan. Pikiran Asih teralihkan.

(Bersambung)

TOMBOL KENANGAN

Kenangan muncul lagi bila diingatkan, sengaja atau tidak. Pengingat itu ibarat tombol yang menyambungkan ingatan dengan peristiwa dan cerita yang pernah terjadi. Syaraf-syaraf di otak kita terus mengingatkan akan itu. Walaupun ‘tombol’ itu hanya berupa benda tak hidup, semisal sandal, jepit, bungkus coklat, gelas, warna pelangi, dan lain-lain. Atau bisa juga benda hidup, seperti daun, bunga, buah, binatang peliharaan, burung,dan sebagainya.

Ya, benda-benda itu menjadi tombol pengingat bagi manusia. Mulailah pikiran kita bekerja menelusuri waktu yang telah lalu, menengok kesan yang terdalam dan bagian yang spesial. Ah kenangan, selalu menjadi indah kemudian. Padahal pada waktunya kita sakit dan sedih menghadapinya. Pahit menjadi manis, tangis menjadi senyum bila dikenang lagi.

Seperti tadi siang, Arti menemukan sebuah puisi yang pernah ditulisnya ketika pelatihan prajabatan di Cirebon 19 tahun lalu. Puisi itu dia tulis pada sebuah sampul buku. Puisi itu jadi tombol baginya untuk mengenang seseorang. Mulailah pikiran Arti sibuk mengenang itu dan ini. Dia tertawa sendiri, dia mendesah sendiri, lalu dilemparnya buku yang tertulis puisinya tersebut, tapi kemudian dipungutnya lagi.

Lama dia tercenung. Mengapa harus baper? Tapi dirinya tak bisa menghentikan cerita masa lalu yang kembali berkelebat bak film di pikirannya. Dia tertawa menertawakan kebodohannya.

Agustus memang mempesona. Tubuhnya tinggi atletis dan wajahnya selalu tersenyum. Di ruangan besar itu mereka selalu duduk bersama. Entah kebetulan atau bagaimana, selalu begitu. Kalau Arti kesiangan, kursi di samping Agustus selalu kosong, seolah Agustus menyediakan kursi itu baginya. Demikian juga dengan Arti, bila dia datang lebih dahulu, lalu melihat Agustus, dipanggilnya temannya itu lalu disuruh duduk di sampingnya.

Widyaiswara yang menerangkan butir-butir dari sila pancasila, kadang terdengar kadang tidak. Kadang hanya seperti suara-suara tak jelas yang berdengung di telinganya. Hal yang jelas baginya adalah tersenyum dan tertawa, bertatapan dan bersiborok pandang, atau mengobrol pelan dan berbisik-bisik dengan Agustus di sampingnya.

Arti tertawa sendiri, memandang lagi buku pedoman prajabatan yang pada sampul belakangnya ditulisi puisi yang menjadi tombol pengingat pada Agustus. Dia menghela napas panjang. Empat puluh hari bersama bukan waktu yang sebentar, cukup kiranya baginya untuk jatuh cinta. Ya seperti pepatah Jawa yang mengatakan: tresno jalaran soko kulino.

Hal yang membuatnya yakin ya karena Agustus pun menyukainya. Tatapan, senyum, sikap, dan caranya bicara memperlihatkan itu. Tapi sampai selesai pelatihan, Agustus hanya menatapnya saja, tak ada kata-kata itu.

Selesailah prajab, masuklah ke dunia kerja yang sesungguhnya. Lalu Arti pun menikah, punya anak, kuliah lagi, mengajar, demikian berulang. Setiap bertemu, Agustus tak berubah tatapan dan senyumnya, selalu mengandung arti, demikian yang dirasakan Arti. Tapi akhirnya Arti sudah tak percaya lagi, tak peduli lagi. Dia menganggap tak ada apa-apa lagi dengannya.

Sampai satu waktu setelah lima tahun tak bertemu, ketika mereka berkerja sama. Agustus menyebut Arti sebagai ‘mantan’ dan menyebut CLBK dengan penuh makna dan tatapan yang tak berubah pada Arti. Arti sangat kaget tapi juga senang hatinya. Artinya yang dirasakan Arti ternyata sama. Legalah sekarang hatinya. Setidaknya, tak malu pada dirinya sendiri yang hampir 20 tahun menganggap bertepuk sebelah tangan. Walaupun tanpa penjelasan dari Agustus mengapa demikian, Arti cukup tenang.

Kenangan memang tak bisa dikibaskan dengan mudah. Betapa Allah maha luar biasa mencipta memori, dan menyimpankannya pada file-file pikiran yang bisa dibuka kembali ketika diingatkan dengan tombol itu: benda kenangan.

TINA SASTRA KANA PENCA

Peuting ieu dina kalaider Maséhi, geus rék asup kana tanggal anyar taun anyar. Sanajan sabenerna dina itungan Hijriyah mah ti magrib mula geus asup kana tanggal anyar 23 Robiul Ahir 1440 H. Saméméh sakadang tunduh ngaraja, rek nuliskeun naon-naon nu dianggap penting dina lenyepan jeung perjalanan hirup pribadi.

Sastra pikeun kuring geus jadi ambekan nu sadami-sadami diseuseup mawa ngamalirna getih kana vena jeung aorta. Ti sabarang inget, geus didongéngan dikawihan ku nini aki ku indung bapa, katut ua-ua. Ti sabarang bisa maca, geus maca buku-buku bacaan boh di imah boh di sakola boh di lingkungan nu nyadiakeunanan. Ti sabarang inget nu katempo téh kitab aki, buku-buku politik jeung agama, oge buku-buku sastra.

Sastra nu jadi pangalaman jeung nu jadi pangaweruh geus napel pageuh. Malah mah nepi ka kiwari, sastra jadi cepengan dina ngajar di Departemén Pendidikan Bahasa Sunda UPI. Nyanghareupan dunya sastra Sunda, teu gampil, pinuh rumpil saliara, gerembel katut cucuk alimusa. Tapi di sagigireun ti éta tangtu waé aya kantong madu nu amis, aya bungbuahan nu matak seger, jeung tutuwuhan nu jadi pamuntangan, nepi ka bisa ‘bertahan’.

Kungsi sakali mangsa mah bakat ku frustasi ku dunya sastra Sunda, niat rék ninggalkeun éta dunya. Aya ogé rasa bosen ngagugulung sastra (téks), tur ngarasa leuwih kataji ku manusa (jeung kabudayaanna) nu leuwih dinamis jeung salilana nawarkeun hal-hal anyar.

Dina kabosenan éta, aya ‘hidayah’ saur Ua Azis inohong Maenpo Cikalong mah, kana penca. Penca nu geus dipikawanoh ti keur budak kénéh tapi ngarasa belet teu bisa gancang ngapalkeun gerak jeung jurusna jeung kungsi ditinggalkeun pédah embung ngésang (latihan).

Katarik ati kana penca beuki karasa beuki kapikiran, pédah tina bacaan gé geus napak dina buku-buku sastra nu nyaritakeun penca. Katambah aya pangalaman nempo aki nempo ua sok turun ka pakalangan, jeung latihan sababaraha mangsa di sakola dasar, di Apih Oting (akina Rita Tila), jeung di Tapak Suci pingpinan Ua alm., najan umurna éta paguron ukur sausum.

Dua taun nganteur-nganteur barudak dina sesela ngajar, ahirna kuring sorangan nu ancrub milu latihan. Babarengan saangkatan jeung Kang Hawe Setiawan ogé Téh Teti Nurherliyati, istrina. Latihan di Garis Paksi teu gampil, lantaran teu ngajarkeun kembang (igel) tapi Abah Gending Raspuzi sareng Pa Cecep Omar Rahayu ngajarkeun buah. Jurus-jurus nu diturunkeun beurat pikeun wanoja mah, komo sera jeung peupeuhan mah.

Keur mah eukeur ngadep kana pancén utama (ngajar), latihan téh loba bolongna, jurus loba pohona. Loba teu kaudagna upama latihan jeung para pendekar lalaki. Alhamdulillah sataun ti harita ku Bah Gending 8, tanda resmi jadi muridna, katut disarageman jeung dibenténan (sabuk) polét 1.

Nincak taun katilu gabung jeung MASPI (Masyarakat Penca Silat Indonésia), ku Sekretaris MASPI Kang Adink D. Dimyati nu ogé Ketua Garis Paksi, dilungguhkeun jeung Kang Hawé dina Litbang. Beurat sabenerna mah, kuring ibarat hayam panyambungan asup ka dunya anyar. Dunya persilatan nu bener-bener geledegan. Tapi ku kacinta kana penca nu jadi banda budaya, kuring nganiatkeun ngamumulé ieu banda nu gedé jasana dina kamekaran Islam jeung kamerdékaan RI.

Tanggal 30 Désémber kamari diistrénan jadi pangurus MASPI jeung puluhan tokoh-tokoh penca, diantarana waé Abah Mas Nanu Muda sareng Pa Bambang Tanoeatmadja. Keur kuring najan anyar asup kana pangalaman sawawa nyangking jurus, teu jadi leutik haté di MASPI, lantaran nu mikacinta jeung ngarojong penca lain ukur praktisi pendekar, tapi ogé gumulung jeung kaum agama (ulama jeung santri), ogé kaum akademisi jeung birokrasi. Enya, pikeun kuring, penca bagian tina ibadah béla diri jeung béla bangsa katut nuluykeun kaparigelan karuhun nu diilhamkeun ku Gusti Allah nepi ka ngawujud penca; ameng; maénpo; mamanca.

Penca ogé teu leupas tina sastra katut basa Sunda. Nyararambung deui waé. Tapi tangtu waé, kuring can bisa nulis karya prosa ngeunaan sastra da kawiraga-wirahma-wirasana saeutik keneh, perelu pangalaman nu panjang katut lenyepan (kontémplasi) nu tohaga kana hal ieu. Da teu bisa kuring mah nulis ngawang-ngawang ukur ngandelkeun imajinasi jeung daya fantasi, kudu aya data nu nyampak dina pangalaman heula téa. Ari perkara sajak mah geus aya karyana. Atuh artikel ilmiah perkara penca aya nu geus ditulis jeung diémbarkeun dina Seminar Tahunan Linguistik di UPI, Méi 2018.

Tah kitu pangalaman nu ku kuring dianggap penting dina fase kahirupan transisi (umur 40-an). Loba kénéh nu hayang diudag jeung dihontal téh. Mugi dipasihan kasehatan kasalametan katut panjang umur kahareupna. Hatur nuhun ka Garis Paksi nu keresa nampa kuring jadi muridna.
—-
Insert: sabagian pangurus MASPI dipoto sareng Ketua-na, Bapa H. Edwin Senjaya (wakil DPR Kota Bandung) nu nganggo songket.

Kritik Sastra: NU GELO

1

Rame-rame nyaritakeun nu gelo nu cenah rek diakomodir sorana dina pemilu 2019, asa ku teungteuingeun. Sanajan enya dilemeskeun ku panyawat saraf, misalna, tetep bae kudu ditetepkeun panyawat saraf dina kondisi nu mana, nepi ka kasadaranna salaku diri jeung warga nagara bisa dipertanggungjawabkeun. Kuring teu nyaho enya sacara kadokteran masalah eta panyakit, jenisna, tingkatanna, jeung ngubaranna. Ku kituna, rek nyaritakeun ‘nu gelo’ dina karya sastra bae.

Minangka karya manusa nu mibanda aspek kajiwaan, sastra sok disebut oge presentasi pangarangna, cenah. Tangtu wae, pangarang nu ngajanggelek dina hiji karakter atawa tokoh nu diciptana. Jadi nempatkeun psikologi sastra nu merenah mah nya nengetan tokoh, lain pembayangan pangarangna. Sakumaha jauhna kondisi kajiwaan tokoh kudu bisa disalusur sacara kausalitas, ieu nu disebut unsur psikologi hiji carpon kahontal. Hartina pangarang dina ngawangun karyana mikabutuh kacerdasan dina ngajanggelekkeun tokohna bari didadasaran ku alesan-alesan nu bisa disalusur samemehna, boh tina aspek alur, latar, puseur implengan, atawa karakteristik tokoh nu bisa dipertanggungjawabkeun.

Aspek kajiwaan tokoh dina tilikan objektif nya kudu kitu ayana. Ku naon ujug-ujug gelo atawa kaganggu kajiwaanna, kudu aya deskripsi samemehna nu nyaritakeun peristiwa rasional atau matak hemeng nu ngalantarankeun shock pribadi tokoh. Salian ti eta, bisa wae lantaran kondisi tokoh-tokoh tambahan nu neken tokoh utama nepi ka depresi, misalna, atawa oge lingkungan nu jadi latar eta carita dikondisikeun pikeun barobahna tingkat kasadaran tokoh, jrrd. Jadi teu bisa sambarangan nga-gelo-keun tokoh teh, komo ku alesan hese nganggeuskeun carita, misalna, tokoh ujug-ujug gelo da digelokeun.

2
‘Majar Kuring Gelo’ karya Ki Umbara, hiji carpon nu bisa dijadikan conto kumaha gelo-na tokoh. Gelo di dieu, perspektif nu beda dina hiji kailaharan. Tokoh utama hiji lalaki dewasa nu ti keur leutik hirupna sangsara. Nepi ka pikeun nebus kasangsaraanna, Ki Dipa nu cenah harti ngaranna teh ‘tai munding’, diajar ngelmu nepi ka ngajalankeun rupa-rupa puasa. Dina puasa mati geni-na manehna aya dina kondisi trans tur eta pisan nu nyababkeun sarafna kaganggu, duka kongslet duka nge-heng. Ngan ti saprak eta, kalakuanna robah tina kailaharan jalma rea.

Untungna -mun bisa disebutkan untung ge- robahna teh jadi ‘hade’. Manehna teu ngaboga-boga banda, lantaran eta mah titipan ti nu kawasa. Pamajikanna nu ngeukeuhan harta ulah disumbangkeun, gampleng dicabok. Ti dinya, pamajikanna jadi soleh nurut kana parentah gerentes hate salakina, gerentes kahadean ti Gustina. Kitu ceuk tokohna.

Unggal Jumaah Ki Dipa nguriling di lemburna, nyabokan jeung nyarekan lalaki nu teu jumaahan. Sagala kalakuan goreng masarakat eta lembur, dilempengkeun ku manehna. Teu asa-asa jeung teu antaparah, ka sing saha wae oge. Budak yatim disuwuk, nu ngalampahkeun jahat dihukuman ku manehna. Sanggeus milampah kahadean, manehna ceuceuleuweungan ngawih bari igel-igelan…

Kuring lain ngaji gosar
Nya gelo nya sasar
Kuring lain ngaji kosar
Nya biko nya kasar
jste

Tah ku nengetan ieu carpon, pan matak lieur ku definisi kecap gelo-na. Geuning Ki Dipa nu dianggap gelo ku jalma rea teh bet milampah kahadean jeung bebeneran, sedeng nu dianggap bener jeung hade ngalampahkeun kasasaran. Jadi Ki Dipa teh gelo atawa henteu? Mangga nu hoyong maca ieu carpon tiasa maca dina kumpulan carpon Sawidak Carita Pondok.

Dina Sawidak keneh, upama muka kaca di tungtung, pamaca bakal manggihan judul ‘Prameswari’ karya Djohar Efsa. Eta carpon teh nyaritakeun hiji wanoja tengah tuwuh nu ngalandi maneh salaku Prameswari ti Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lantaran implenganana kitu, sagala tingkah polahna niru-niru hiji Prameswari, prameswari nu usaha pikeun karaharjaan rahayat karajaanna. Atuh tingburudul nu nipu bari barangjual barang2 teu uni nu diaku minangka jimat jeung lalayang. Atikan luhur jeung kacerdasan eta wanoja katutupan ku intuisi kawanojaan nu mahiwal, nu miharep jeung ngimpi aya beubeureuh raja dina hirupna.

Salian ti Ki Umbara jeung Djohar Efsa, aya oge Tini Kartini dina carponna ‘Jurig’ nu nyaritakeun Nyi Iyot hiji wanoja nu memang lemah dina ngajaga kawarasan dirina. Keur mah kitu, tatanggana neken jeung ngantep, nepi ka pikiran Nyi Iyot parna kaganggu. Eta carpon teh aya dina buku kumpulan capon Tini Kartini: Jurig, Pasea, jeung Nyi Karsih.

Firda Aulia, pangarang ngora anggota PATREM ge kungsi nulis carpon ‘Halimun’ dina Salikur Carpon PATREM perkara jiwa nu kaganggu alias ‘gelo’ oge. Ceuk tokohna, Neneng, manehna teh teu gelo tapi nempo hal-hal pikagilaeun tur hirup ngancam dirina. Neneng cenah sok halusinasi jeung delusi da boga panyakit schizophrenia. Panyakit kajiwaan tingkat tinggi, aya tilikan ilmiah ieu mah.

Kuring sorangan kungsi nulis carpon ‘Nu Unggut Kalinduan’, nu nyaritakeun proses kajiwaan hiji wanoja dina kandelna kayakinan agama. Di satengahing hirupna manehna ngalaman murtad alatan teu dihaja ku banget bogoh ka hiji lalaki Nasrani. Kondisi-kondisi kayakinan kana agama eta nu jadi sabab jiwana goncang. Naha manehan gelo? Mangga baca wae eta carpon dina kumpulan carpon ‘Dua Wanoja’ karya Chye Retty Isnendes.

Tina sawangan objektif sababaraha carpon, katiten yen kasakit gelo teh memang rupa-rupa pisan alatanana, jenisna, jeung balukarna. Pikeun mesek ieu kondisi diperlukeun oge parabot analisis psikologi sastra nu ayeuna jadi hal penting dina mesek karya-karya samodel di luhur. Bisa wae teori psikologi Pendidikan, Freud, Humanistik, atawa Lacan dilarapkeun jadi pendekatan dina karya-karya sastra nu nawarkeun aspek kajiwaan.

3
Leupas tina karya sastra, geuning kondisi ‘gelo-na’ jalma waras ge jadi hiji hal nu matak helok da dianggap di luar akal sehat manusa. Malah urang ge sok ngadenge dina gorombolan jalma sok aya nu ngagorowok: “gelo!!!” cenah kana ketak jalma nu ditongtonna boh dina olahraga boh dina kesenian kana atraksi ‘cerdas atawa aheng’ nu teu kaprediksi samemehna. Disagigireun ti eta, kecap gelo ge jadi panuduh ka nu sejen lamun ambek teh: “gelo sia teh?”

Cindekna masalah gelo jeung kageloanana bisa jadi panyakit atawa reputasi/prestasi nepi ka disiar jadi siwah enyaan atawa megalomania pikeun kaeksistensian diri. Pan urang ge apal aya Presiden Republik Gelo nu jadi standar ‘gelona’ seniman, kitu? 😁

Upama ayeuna dibetot kana politik nepi ka ‘nu gelo’ didata jadi calon pemilih nu sorana dihargaan jeung diitung, naha ieu gejala naon pikeun kasadaran berbangsa jeung bernegara? Lamun nepi ka enya disaruakeun sorana jeung nu sehat, naha enya ieu nandakeun kacerdasan atawa ngaindikasikeun jiwa nu gering? Dina bulan-bulan nu pinuh ku ketegangan menuju pemilu, mampuh nembongkeun hal-hal di luar akal sehat manusa. Meureun ieu kondisi bisa disebut ‘gelo’ atawa edan ceuk ukuran Ronggo Warsito mah nya?

Yu ah urang jaga kawarasan uteuk urang, sangkan bisa hirup waluya katut hurip salamet dunya lan aherat.*